Oleh Assist Prof. Mochammad Farisi, LL.M – Dosen Hukum Internasional FH UNJA dan Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia)
Kemenangan yang Mengguncang Peta Politik Amerika
Psekoid– Pemilihan Wali Kota New York 2025 mencatat sejarah baru: Zohran Mamdani, seorang imigran muda keturunan Uganda-India, menjadi wali kota Muslim pertama dan termuda dalam sejarah kota tersebut.
Kemenangannya tak hanya simbolik, tetapi juga ideologis—ia mengusung sosialisme progresif di tengah masyarakat yang mayoritas liberal, dan menegaskan keberpihakannya pada keadilan sosial serta solidaritas terhadap rakyat Palestina.
Awalnya diremehkan karena dianggap “terlalu kiri” dan “terlalu muda”, Mamdani justru meraih lebih dari 50% suara—tertinggi sepanjang sejarah pemilu New York. Ia menumbangkan lawan-lawan kuat, termasuk mantan gubernur dan figur yang didukung oligarki politik, bahkan Presiden Donald Trump.
Yang menarik, Mamdani memenangkan hati publik bukan dengan politik identitas sempit, melainkan dengan narasi universal tentang keadilan sosial, kesetaraan, dan pelayanan publik.
Simbol Baru Hak Politik dan Toleransi
Dari kacamata hukum internasional, kemenangan ini adalah wujud nyata dari prinsip yang terkandung dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), terutama Pasal 25, yang menegaskan hak setiap warga negara untuk: 1) Berpartisipasi dalam pemerintahan; 2) Memilih dan dipilih dalam pemilihan yang bebas dan jujur; 3) Mendapat akses yang setara terhadap jabatan publik.
Sebagai negara pihak ICCPR, Amerika Serikat memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak tersebut tanpa diskriminasi atas dasar agama, ras, atau asal-usul etnis (Pasal 2 dan 26 ICCPR).
Dalam konteks Mamdani, negara menjamin haknya sebagai Muslim dan imigran untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik tanpa hambatan hukum.
Kemenangan ini juga menghidupkan kembali nilai-nilai non-discrimination dan equality before the law di tengah maraknya islamofobia.
Secara faktual, pemilih New York menolak politik ketakutan dan memilih untuk menghargai kompetensi serta moralitas calon pemimpin. Hal ini memperkuat legitimasi sistem demokrasi yang inklusif—di mana keberagaman bukan ancaman, melainkan kekayaan politik.
Dimensi Hak Asasi dalam Demokrasi Substantif
ICCPR tidak hanya berbicara soal prosedur pemilihan, tetapi juga menuntut adanya demokrasi substantif—yakni sistem politik yang menjamin warga menikmati hak ekonomi, sosial, dan budaya secara merata.
Dalam hal ini, Mamdani menawarkan kebijakan nyata: pembekuan sewa (rent freeze), transportasi publik gratis, peningkatan upah minimum, serta reformasi pajak bagi kelas pekerja.
Gagasan-gagasan tersebut memperluas makna hak politik menjadi lebih dari sekadar “hak memilih”, melainkan “hak untuk mendapatkan pemimpin yang hikmat dan bijaksana” serta ” hak untuk mendapatkan pemerintahan good governnace” serta “hak menikmati hasil demokrasi secara adil dan merata”.
Inilah cerminan ideal dari good democratic governance yang dikembangkan Dewan Eropa (Council of Europe, 2018): pemerintahan yang berorientasi pada hasil, menjunjung keadilan sosial, dan partisipasi aktif masyarakat.
Kemenangan Mamdani membuktikan bahwa nilai-nilai Islam—seperti keadilan, kemaslahatan, dan pelayanan terhadap sesama—dapat diterjemahkan dalam bahasa universal yang diterima lintas agama dan generasi. Ia tidak menonjolkan Islam sebagai identitas politik eksklusif, melainkan sebagai sumber etika publik yang inklusif.
Partisipasi Politik sebagai Kewajiban Negara To Protect and To Fulfill
Dalam kerangka hukum internasional, partisipasi politik bukanlah hadiah negara, melainkan hak asasi yang menimbulkan kewajiban positif bagi negara.
Negara wajib memastikan tidak ada hambatan struktural, hukum, atau sosial bagi kelompok minoritas untuk ikut serta dalam proses politik.
Prinsip ini penting untuk diingat oleh negara-negara demokrasi lain, termasuk Indonesia, yang juga menjadi pihak ICCPR.
Hak politik tidak hanya bermakna kebebasan untuk mencalonkan diri, tetapi juga perlindungan dari diskriminasi, intimidasi, dan pembatasan yang tidak proporsional.
Negara memiliki tanggung jawab untuk menciptakan iklim politik yang aman, adil, dan inklusif—di mana setiap warga dapat bersaing secara setara.
Pelajaran bagi Calon Kepala Daerah di Indonesia
Kemenangan Mamdani menyimpan banyak pelajaran penting bagi calon kepala daerah di Indonesia menjelang Pilkada 2029:
1. Jadikan hak politik sebagai amanah moral.
Hak untuk dipilih bukan privilese, melainkan tanggung jawab untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan melayani publik secara adil.
2. Bangun politik inklusif berbasis nilai universal.
Masyarakat menghargai kejujuran, empati, dan pelayanan. Pemimpin yang menampilkan nilai-nilai kemanusiaan universal akan lebih mudah diterima daripada mereka yang mengandalkan politik identitas.
3. Substantive democracy di atas prosedural.
Fokuslah pada isu konkret: kemiskinan, pendidikan, lapangan kerja, dan lingkungan. Demokrasi sejati adalah yang memberi manfaat nyata bagi kehidupan rakyat.
4. Gunakan media sosial secara edukatif dan etis.
Kampanye digital yang berorientasi pada gagasan, bukan provokasi, akan membangun kepercayaan publik jangka panjang.
5. Integrasikan norma HAM dalam kebijakan daerah. Setelah terpilih, kepala daerah harus memastikan kebijakan publik selaras dengan prinsip good democratic governnace: transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan keadilan sosial.
6. Utamakan integritas dan kesederhanaan.
Di tengah krisis kepercayaan, pemimpin yang jujur, sederhana, dan komunikatif justru menjadi simbol kekuatan moral baru.
Penutup
Zohran Mamdani adalah bukti bahwa demokrasi yang sehat bukan milik mayoritas, tetapi milik semua warga negara yang mau berjuang dengan moral, kompetensi, dan keberanian.
Dari perspektif hukum internasional, kemenangannya menegaskan kembali pentingnya perlindungan hak politik sebagai fondasi kebebasan dan kesetaraan.
Bagi Indonesia, kisah Mamdani mengingatkan bahwa kekuatan politik terbesar bukanlah uang atau jaringan elite, melainkan kepercayaan rakyat yang tumbuh dari keberanian, keadilan, dan integritas.






